Monday, February 16, 2009

Defiance (2008)


The Bedford Falls Company

Genre : Drama - Perang

Durasi : 137 menit

Sutradara : Edward Zwick

Pemain :
Daniel Craig sebagai Tuvia Bielski
Lev Schreiber sebagai Zus Bielski
Alexa Davalos sebagai Lilka Ticktin
Ravil Isyanov sebagai Viktor Panchenko

Tanggal Rilis : 10 Januari 2009 – Indonesia

Award :
2009 – Oscar
Nominasi “Best Achievement in Music Written for Motion Picture, Original Score” untuk James Newton Howard

2009 – Golden Globe
Nominasi “Best Original Score – Motion Picture” untuk James Newton Howard

2008 – Las Vegas Film Critics Society Awards
Memenangkan “Sierra Award” untuk “Best Score” oleh James Newton Howard


Rating : R (MPAA)

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Sekali lagi kita disuguhi film bertema holocaust Perang Dunia 2. Film ini bercerita mengenai Bielski bersaudara yang melarikan diri ke hutan Belarusia untuk menghindari kejaran tentara Nazi. Tidak disangka, banyak orang Yahudi yang senasib dengan mereka di tengah hutan tersebut. Makin lama, semakin banyak orang Yahudi yang bergabung dengan mereka. Bahkan yang berasal dari ghetto (wilayah di dalam kota khusus bagi orang Yahudi dan dijaga ketat tentara Nazi).
Walau pada awalnya mereka hanya mencoba bertahan, tetapi sebagian dari orang Yahudi ini sepakat untuk melawan. Beberapa orang tersebut memisahkan diri dari kelompok induk dan bergabung dengan Tentara Merah dari Rusia. Di sinilah letak kontroversi sejarah terjadi. Bagi sebagain orang lokal, Bielski bersaudara adalah penjahat karena mereka membunuh penduduk untuk mendapat makanan. Tapi bagi kelompok Bielski, mereka hanya bertahan hidup dan yang mereka bunuh adalah para kolaborator Nazi yang memburu mereka.

Terlepas dari kontroversi tersebut, film ini dapat membawa kita pada suasana hutan dengan perlindungan seadanya. Agak mengingatkan kita pada film “Robin Hood – The Prince of Thieves” yang dibintangi oleh Kevin Costner. Ketegangannya pun tidak jauh dengan film tersebut. Yang jadi catatan, Daniel Craig cukup ok dengan logat Eropa Timur. Walau agak aneh juga mendengar dialog dalam Bahasa Inggris, tapi ini semata agar kita dapat lebih mengerti film keseluruhan.

Film ini sebenarnya tidak harus ditonton di bioskop karena adegan perang dengan suara menggelegar tidak terlalu diekspos. Lagipula, ia lebih banyak bercerita pada drama yang terjadi dalam pengungsian mereka. Tapi, sebagai alternative pilihan, cukup layak untuk ditonton di tengah serbuan film horror dan komedi dari sineas lokal.

Paradise Now (2005)


Paradise Now (2005)

Augustus Film

Genre : Drama - Perang

Durasi : 90 menit

Sutradara : Luis Mandoki

Pemain :
Carlos Padilla sebagai Chava
Leonor Varela sebagai Kella
Gustavo Munoz sebagai Ancha
Jose Maria Yazpik sebagai Uncle Beto

Tanggal Rilis : 28 Januari 2005 - Mexico

Award :
2006 – Premios ACE
Memenangkan “Premio ACE” untuk “Cinema – Best Supporting Actress”

2005 – RiverRun International Film Festival
Memenangkan “Jury Prize” untuk “Best Feature Film”

2005 – San Diego Film Critics Society Awards
Memenangkan “SDFCS Award” untuk “Best Foreign Film”

2005 – Satellite Awards
Memenangkan “Satellite Award” untuk “Outstanding Motion Picture, Foreign Film”

2005 – Seattle International Film Festival
Memenangkan “Golden Space Needle Award” untuk “Best Film”

2005 – Tromso International Film Festival
Memenangkan “Audience Award” untuk “Best Film”

2005 – Ariel Awards, Mexico
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Make-Up”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Special Effects”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Supporting Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Art Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Cinematography”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Editing”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Sound”
Nominasi “Golden Ariel”

2005 – Bangkok International Film Festival
Nominasi “Golden Kinnaree Award” untuk “Best Film”

2005 – Berlin International Film Festival
Memenangkan “Crystal Bear” untuk “14plus: Best Feature Film”

2005 – Heartland Film Festival
Memenangkan “Crystal Heart Award”

2005 – National Board of Review, USA
Memenangkan “Freedom of Expression Award”

2005 – PGA Awards
Memenangkan “Stanley Kramer Award”


Rating : PG 13 (MPAA)

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Melihat film ini saya teringat pada beberapa film sejenis dimana anak-anak menjadi korban perang. Mulai dari Blood Diamond, Hotel Rwanda, sampai Battle for Haraditha. Semua menceritakan bagaimana anak-anak dengan kepolosan mereka menjadi keganasan para orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung. Lebih parah lagi, anak-anak ini bahkan dilatih untuk menyerang satu sama lain tanpa belas kasihan.

Penghargaan 12 kemenangan dan 9 nominasi bagi film ini saya rasa cukup mengingat hal ini masih terjadi sampai sekarang. Biar lewat film ini, mata dunia semakin terbuka kalau anak-anak tidak seharusnya dilibatkan dalam sebuah konflik. Jangan atas nama nasionalisme atau isme lainnya, mereka kehilangan masa-masa indah bermain dan menimba ilmu. Dan biar mereka dapat membuat masa depan yang lebih baik bagi bumi ini.

Der Rote Baron (2008)


Niama Film

Genre : Drama - Perang

Durasi : 120 menit

Sutradara : Nikolai Mullerschon

Pemain :
Matthias Schweighofer sebagai Manfred von Richthofen
Lena Headey sebagai Kate Otersdorf
Til Schweiger sebagai Werner Voss
Maxim Mehmet sebagai Friedrich Sternberg

Tanggal Rilis : 10 April 2008 - Jerman

Award :

Rating : 12 (Jerman)

Layak ditonton : 3,5 (skala 1-5)


Tidak banyak film yang mengangkat cerita tentang Perang Dunia 1. Bahkan jujur saja, baru kali ini saya menonton film berkaitan dengan Perang Dunia 1 yang berasal dari Jerman. Sebelumnya, saya menonton hanya dari versi Hollywood.

Der Rote Baron mengisahkan tentang pilot tempur handal Jerman yang juga seorang Baron bernama Manfred von Richthofen. Ia mendapat julukan tersebut setelah mendapat promosi memimpin sebuah skuadron pesawat tempur dan ia mengecat pesawatnya dengan warna merah – sebuah warna yang dianggap tabu untuk dipakai sebuah pesawat karena menghilangkan efek kejutan bagi musuh.
Tapi, hal itu rupanya bukan tanpa alasan. Sebagai seorang Baron, ia terbiasa dengan nilai-nilai sportifitas. Itu mengapa ia tidak mau menembak sembarangan, dan juga tidak terus pesawat musuh yang sudah jatuh. Bahkan, ia rela masuk jauh ke wilayah musuh demi memberikan karangan bunga (yang dilemparkan dari atas pesawat) untuk teman yang juga sekaligus musuhnya.
Sebagai seorang prajurit, tentu ia pun pernah mendapat luka ketika bertugas. Ketika itulah ia semakin dekat dengan seorang perawat bernama Kate Otersdorf. Lewat pertemuan ini, Manfred – yang diangkat menjadi salah satu pahlawan perang Jerman di Perang Dunia 1 – dapat melihat bahwa perang ternyata lebih brutal daripada yang ia kira.

Menyaksikan film ini, agak mengingatkan saya pada film “Pearl Harbour” atau “Fly Boys”. Ada beberapa kekurangan dalam film ini. Kekurangan pertama adalah dialog didominasi oleh Bahasa Inggris yang menurut saya malah mengurangi keaslian film ini dan membuatnya tampak semakin mirip dengan film-film sejenis. Kekurangan lainnya adalah adegan yang agak “meloncat-loncat”. Aliran adegan kurang halus sehingga tampak seperti potongan-potongan yang disatukan. Dan yang paling fatal buat saya adalah pertempuran terakhir sebagai klimaks malah tidak ditampilkan sama sekali. Mungkin ini berkaitan dengan fakta bahwa sampai sekarang pun masih belum diketahui secara pasti siapa yang menjatuhkan pesawat Manfred.
Walau demikian, acungan jempol boleh diajukan untuk adegan pertempuran pesawat tempur klasik dan juga adegan-adegan di parit-parit medan depan. Jadi, walau tidak terlalu bagus, film ini cukup untuk menambah pengetahuan bagi mereka yang menggilai film mengenai tokoh perang.

Saturday, November 15, 2008

Boondock Saints (1999)


Franchise Pictures


Genre : Action


Durasi : 110 menit

Sutradara : Troy Duffy

Pemain :
Sean Patrick Flanery sebagai Connor McManus
Norman Reedus sebagai Murphy McManus
David Della Rocco sebagai David Della Roc
Billy Connolly sebagai Il Duce
Willem Dafoe sebagai Paul Smecker

Rating : R (MPAA) untuk kekerasan, bahasa, dan materi seksualitas

Tanggal Rilis : 4 Agustus 1999 (rilis pertama di Munchen Fantasy Filmfest - Jerman)

Layak Tonton : 5 (dalam skala 1 – 5)

Ada 2 hal menarik dari film ini.
Hal pertama adalah tema yang diangkat yaitu bagaimana seseorang melakukan hal yang dilarang agamanya, tetapi dengan alasan agama. Dalam film ini, perintah “kasihilah musuhmu” tidak berlaku. Bintang utama malah membunuh para gembong kejahatan untuk memurnikan komunitas mereka sehingga yang baik dapat muncul keluar. Ya, sekali lagi, tema besarnya adalah kebaikan melawan kejahatan. Tetapi motif di belakangnya berbeda. Mungkin ini mirip dengan latar belakang “Perang Salib” jaman dulu. Atau kalau mengaitkannya dengan saat ini, ada sebuah film lain yaitu “Paradise Now” yang menceritakan tentang pelaku bom bunuh diri Palestina. Dengan mengambil judul “Saints”, kita diperhadapkan apakah mereka yang melawan kejahatan dengan kejahatan layak disebut sebagai “orang kudus”? Film ini juga mengetengahkan bagaimana sebenarnya masyarakat dapat menerima efek yang kelompok ini timbulkan. Dengan dibunuhnya para gembong kejahatan, maka masyarakat dapat dengan tenang melakukan aktifitas mereka.
Hal kedua yang menarik dari film ini adalah bagaimana eksekusi adegan dilakukan. Bila diibaratkan makanan, maka ia adalah sebuah sate dengan isi beraneka ragam. Setiap adegan dipotong sesuai keperluan, dirangkaikan, dan disajikan lewat proses yang matang. Kadang kala beberapa adegan diakhiri dengan sesuatu hal yang dapat membuat kita tersenyum – atau bahkan tertawa. Belum lagi pilihan aktor senior Willem Dafoe yang selama ini sering bermain menjadi peran yang tangguh, kasar, dsb di film ini menjadi seseorang yang sangat flamboyan, menyenangi musik klasik, dan begitu ekspresif. Tentu saja kita tidak dapat mengesampingkan permainan akting aktor lainnya. Dua bintang utama film, Sean Patrick Flanery dan Norman Reedus, sebenarnya lebih banyak bermain untuk serial tv di Amerika. Kemudian David Della Rocco bisa dikatakan bukan seorang bintang film apabila kita melihat minimnya ia bermain. Yang mungkin dapat dikatakan senior adalah Willem Dafoe dan Billy Connolly yang sarat pengalaman. Walau demikian, film ini punya tempat di kalangan penggemar film. Memang tidak banyak orang yang menggemari film ini tetapi ia sudah ditempatkan sebagai “cult movie” yang punya segmen tersendiri. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam waktu dekat kita akan dapat menyaksikan sekuelnya yang berjudul “Boondock Saints 2: All Saints Day“. Rencananya film ini akan dirilis pada tahun 2009 dengan pemeran utama yang masih sama.

In Nomeni Patri - Et Fili - Spiritus Sancti

Wednesday, October 15, 2008

Voces Inocentes (2004)


(Innocent Voices - English Title)


Lawrence Bender Productions

Genre : Drama - Perang

Durasi : 120 menit

Sutradara : Luis Mandoki

Pemain :
Carlos Padilla sebagai Chava
Leonor Varela sebagai Kella
Gustavo Munoz sebagai Ancha
Jose Maria Yazpik sebagai Uncle Beto

Tanggal Rilis : 28 Januari 2005 - Mexico

Award :
2006 – Premios ACE
Memenangkan “Premio ACE” untuk “Cinema – Best Supporting Actress”

2005 – RiverRun International Film Festival
Memenangkan “Jury Prize” untuk “Best Feature Film”

2005 – San Diego Film Critics Society Awards
Memenangkan “SDFCS Award” untuk “Best Foreign Film”

2005 – Satellite Awards
Memenangkan “Satellite Award” untuk “Outstanding Motion Picture, Foreign Film”

2005 – Seattle International Film Festival
Memenangkan “Golden Space Needle Award” untuk “Best Film”

2005 – Tromso International Film Festival
Memenangkan “Audience Award” untuk “Best Film”

2005 – Ariel Awards, Mexico
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Make-Up”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Special Effects”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Supporting Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Art Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Cinematography”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Editing”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Sound”
Nominasi “Golden Ariel”

2005 – Bangkok International Film Festival
Nominasi “Golden Kinnaree Award” untuk “Best Film”

2005 – Berlin International Film Festival
Memenangkan “Crystal Bear” untuk “14plus: Best Feature Film”

2005 – Heartland Film Festival
Memenangkan “Crystal Heart Award”

2005 – National Board of Review, USA
Memenangkan “Freedom of Expression Award”

2005 – PGA Awards
Memenangkan “Stanley Kramer Award”


Rating : Dewasa – untuk bahasa yang kasar dan kekerasan

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Melihat film ini saya teringat pada beberapa film sejenis dimana anak-anak menjadi korban perang. Mulai dari Blood Diamond, Hotel Rwanda, sampai Battle for Haraditha. Semua menceritakan bagaimana anak-anak dengan kepolosan mereka menjadi keganasan para orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung. Lebih parah lagi, anak-anak ini bahkan dilatih untuk menyerang satu sama lain tanpa belas kasihan.

Penghargaan 12 kemenangan dan 9 nominasi menandakan dunia masih menaruh perhatian pada masalah ini. Lewat film ini, orang-orang akan semakin terbuka matanya dan diharap sadar bahwa anak-anak tidak seharusnya dilibatkan dalam sebuah konflik. Jangan atas nama nasionalisme atau isme lainnya, mereka kehilangan masa-masa indah bermain dan menimba ilmu. Biarkan mereka menikmati masa kecilnya dan belajar sehingga ketika besar, mereka dapat membuat masa depan yang lebih baik bagi bumi ini.

Tuesday, September 30, 2008

Death Defying Act (2007)


Australian Film Finance Corporation (AFFC)
Genre : Drama
Durasi : 97 menit
Sutradara : Gillian Armstrong
Pemain :
Catherine Zeta-Jones sebagai Mary McGarvie
Guy Pearce sebagai Harry Houdini
Saoirse Ronan sebagai Benji McGarvie
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG (USA) untuk sensualitas, kekerasan verbal dan fisik, dan merokok
Tanggal Rilis : 13 Maret 2008 (Australia)
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Apa yang menarik dari film ini? Buat saya, hal pertama adalah Catherine Zeta-Jones yang terakhir saya lihat berakting dalam “The Legend of Zorro” (2004). Yang kedua adalah film ini mengangkat cerita lain dari Harry Houdini. Selain itu? Agak susah mencari alasan mengapa saya mau menonton film ini untuk kedua kalinya.
Film yang disutradarai oleh sutradara wanita asal Australia ini memang cukup mengalir. Tetapi di beberapa adegan, ada grafik stagnan yang dapat membuat kita merasa kursi bioskop lebih nyaman dinikmati dengan mata terpejam (bahkan kecantikan Catherine tidak dapat mengalahkan paduan kursi yang empuk dan ac yang dingin).

Walau demikian, cerita mengenai kehidupan pesulap memang selalu menarik perhatian saya. Kali ini Harry Houdini, sang master melarikan diri, mencari kata terakhir yang diucapkan ibunya sewaktu meninggal. Hal ini dilakukannya karena pada saat itu Houdini tidak dapat mendampingi ibunya menjemput maut. Dengan menawarkan sejumlah uang, ia menantang para ahli supranatural untuk dapat menguak rahasia tersebut. Alih-alih berhasil, usaha para ahli itu malah menjadi bumerang bagi mereka. Houdini berhasil memecahkan trik yang dipakai para “dukun” dan itu membuatnya bertambah apatis. Dalam perjalan terakhir Houdini, Mary McGarvie dan Benji mencoba menemuinya. Mereka menyatakan dapat membantu Houdini mencari kata terakhir sang ibu sekaligus memenangkan hadiah uang yang telah dijanjikan.
Apakah ibu dan anak itu berhasil membantu Houdini? Film yang tidak terlalu panjang ini menyuguhkan ending yang cukup mengejutkan dan sayang kalau kita tertidur dan melewatkannya.

Kalau boleh membandingkan, saya langsung teringat pada film “The Prestige” (2006) yang dibintangi Hugh Jackman dan Christian Bale dengan durasi lebih panjang 33 menit. Bagi saya, pertempuran 2 orang pesulap yang dilandasi balas dendam lebih menarik daripada bumbu percintaan. Atau, mungkinkah karena “The Prestige” punya landasan yang “kuat”? “The Prestige” adalah hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya penulis Inggris Christopher Priest. Novel terbitan tahun 1995 ini sendiri mendapat “James Tait Black Memorial Prize” untuk fiksi terbaik serta novel terbaik dari “World Fantasy Award”. ….mmmm…. sepertinya alasan pertama lebih masuk akal.

Get Smart (2008)

Warner Bros Pictures
Genre : Komedi Aksi
Durasi : 110 menit
Sutradara : Peter Segal
Pemain :
Steve Carell sebagai Maxwell Smart
Anne Hathaway sebagai Agent 99
Dwayne Johnson sebagai Agent 23
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG-13 (USA) untuk humor yang kasar dan kekerasan fisik serta verbal.
Tanggal Rilis : 19 Juni 2008
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Melihat dari poster yang dirilis, pikiran saya langsung terbayang kelucuan Rowan Atkinskon dalam film “Johnny English” (2003) atau Leslie Nielsen dalam “Naked Gun”. Tetapi apa yang saya dapatkan ternyata tidak demikian. Film ini adalah sebuah komedi yang tidak terlalu mengumbar kelakuan konyol dimana-mana. Beberapa hal yang lucu justru didapat dari permainan dialog antar pemain. Bisa dikatakan inilah film “plesetan cerdas” dari genre spy movie.
Film yang merupakan re-make dari serial tv dengan judul yang sama ini sebenarnya bukanlah yang pertama mencoba mengikut sukses serial pertamanya. Tercatat sebelum film ini ada versi theater yang berjudul “The Nude Bomb” (1980) dan film untuk tv “Get Smart, Again” (1989). Dari dua judul di atas, yang cukup berhasil adalah “Get Smart, Again”. Bahkan Fox TV mencoba membuat serial dengan judul “Get Smart” di tahun 1995 untuk mengikuti kesuksesan itu. Sayangnya serial tersebut tidak berumur panjang. Karena itu dapat dibayangkan film ini “menanggung” beban yang cukup berat. Grafik naik turun animo penonton bisa saja membuat film ini tidak laku di pasaran. Untungnya dari penghargaan yang ia dapat dalam Teen Choice Award, film ini dapat diterima publik dan bahkan direkomendasikan untuk ditonton. Karena itu tidak heran kalau kita dapat menyaksikan spin-off dari film ini yang berjudul “Get Smart’s Bruce and Lloyd: Out of Control”.

Kesuksesan “Get Smart” tidak terlepas dari tangan dingin sang sutradara. Peter Segal adalah sutradara yang kerap menangani film jenis ini. Kita bisa lihat hasil karyanya dalam “Naked Gun 33 1/3” The Final Insult” (2004) dan “Nutty Professor II: The Klumps” (2000). Selain itu ia juga menyutradarai “Anger Management” (2003).
Akting Steve Carell juga cukup dingin sehingga kesan tokoh agen rahasia cukup sukses dijalankannya (sekali lagi seperti Rowan Atkinson atau Leslie Nielsen dalam film-filmnya). Berbeda saat ia memerankan Evan Baxter dalam “Evan Almighty” (2007) yang cenderung mengeksplor emosinya, dalam film ini ia harus tampil selalu rapi dengan jas dan sedikit kaku. Sementara Anne Hathaway cukup luwes dalam mengimbangi peran Steve Carell walau ia lebih banyak bermain dalam film drama seperti “Brokeback Mountain” (2005) atau “The Devil Wears Prada” (2006).
Secara keseluruhan, film ini memang layak untuk ditonton. Bagi mereka yang mengoleksi “Naked Gun” dan “Johnny English” tentu saja “Get Smart” harus ditambahkan dalam lemari koleksi. Sayangnya ada sedikit adegan yang cukup mengganggu saya yaitu saat Carell dan Hathaway harus melintasi ruangan penuh jebakan laser. Cara mereka melewatinya sangat mirip dengan adegan Catherine Zeta Jones dalam film “Entrapment” (1999).